EKSTRA

Kamis, 16 Agustus 2012

TELAAH KRITIS PERMASALAHAN PELAYANAN PENDIDIKAN DI BIDANG ANGGARAN


TELAAH KRITIS
PERMASALAHAN PELAYANAN PENDIDIKAN
DI BIDANG ANGGARAN


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kebijakan Pendidikan (MPB 112)

Yang diampu oleh  :
Dr. Sudharto, M. Pd
Dr. Maryadi, M.Pd





Disusun Oleh :

NAMA                       :   MUDHOFAR
NIM                            :    11510017


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PPS IKIP PGRI SEMARANG
2012




TELAAH KRITIS
PERMASALAHAN PELAYANAN PENDIDIKAN
DI BIDANG ANGGARAN

1.      Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hokum penyelenggaraan dan reformasi system pendidikan nasional. Implementasi dari Undang-undang tersebut adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,sebagai acuan dasar pelaksanaan system pendidikan di Indonesia.Acuan dasar tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.Pendidikan akan berhasil jika ditopang oleh anggaran.Dengan anggaran yang di anggarkan oleh pemerintah maka akan membuat pendidikan lebih maju dan ini juga perlu dukungan masyarakat serta orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2.      Rumusan Masalah
Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 berbunyi setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai.Negara juga memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupaun APBD.Dengan  melihat kenyataan yang ada permasalahan pembangunan pendidikan bervariasi dan kompleks dari mulai kebijakan, anggaran, kurikulum, pembelajaran,kualitas guru dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan.
Pada telaah kritis ini saya tekankan hanya pada bidang anggaran pendidikan.Mengapa anggaran pendidikan  diprioritaskan?

3.      Akibat dari masalah
Penyebab Anggaran Pendidikan di Prioritaskan
Dari berbagai masalah yang mengemuka, permasalahan anggaran pendidikan merupakan salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan. Perbincangan tersebut akhirnya bermuara pada kesepakatan nasional untuk memberikan perhatian yang lebih besar untuk pendidikan yang ditunjukkan dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 31 ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan negara membiayainya”.
Hasil amandemen tersebut semakin diperluas seiring dengan ditetapkannya UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang antara lain, di dalam pasal 49 (1) yang menyatakan bahwa: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, ayat (1) tersebut dinyatakan tidak berlaku melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 24/PUU-V/2007 yang menyatakan dikabulkannya tuntutan Pengujian UU No.20/2003 tentang Sisdiknas (Pasal 49 ayat (1). Dengan demikian, kembali ke UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

4.      Pemecahan Masalah Anggaran Pendidikan
Rumusan UUD 1945 tersebut masih memasukan pendidikan kedinasan sehingga membutuhkan pengaturan operasional yang menjamin alokasi hanya untuk pendidikan publik bukan untuk pendidikan aparatur. Pada tanggal 20 Februari 2008, MK mengeluarkan putusan yang menyatakan “Dana Pendidikan selain biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.” Keputusan tersebut menjadi rujukan pelaksanaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen atau sebesar Rp. 207,41 trilyun yang baru terlaksana untuk APBN 2009. Keinginan yang kuat dari publik untuk meningkatkan anggaran pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari belum meratanya akses terhadap layanan pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan. Upaya perluasan akses terhadap pendidikan telah menunjukkan hasil yang menggembirakan yang ditunjukkan dengan angka partisipasi murni (APM) SD-MI yang telah mencapai 94,90 persen dan angka partisipasi pendidikan kasar SMP-MTs dan SLTA-MA, serta PT masing telah mencapai 92,52 persen dan 60,51 persen, serta 17,25 persen. (Lampiran Pidato Presiden 15 Agustus 2008). Namun demikian pencapaian agregat tersebut masih menyisakan adanya kesenjangan antardaerah, antara kaya-miskin sehingga masih cukup banyak kabupaten/kota yang APK jenjang SMP/MTs/sederajat kurang dari 75 persen dan rasio kaya-miskin masih sebesar 0,76. (Susenas 2006). Di samping itu, masih ada anak yang belum terjangkau karena tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan kepulauan, serta anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya.
Terkait dengan kualitas, pembangunan pendidikan belum mampu melakukan percepatan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Data yang dilansir Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007, menempatkan Indonesia masuk ke ranking 37 untuk nilai matematika siswa kelas 8 atau kelas 2 SMP dengan nilai sebesar 397 (dengan skala rata-rata 500). Jauh tertinggak dibandingkan rerata nilai di negara-negara tetangga, semisal Malaysia yang sudah mencapai 474, dan Thailand 441, serta Singapura 593. Demikian halnya untuk mata pelajaran sains, Indonesia berada di posisi ke-35 dengan nilai 427, adapun rerata Malaysia dan Thailand sudah mencapai 471, serta Singapura mencapai 567.
Dengan mengacu pencapaian yang ditunjukkan di atas, diperlukan usaha yang lebih kuat dan sungguh untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan agar bangsa ini tidak semakin tertinggal sehingga hanya mampu menjadi “bangsa kuli” yang menjadi tamu dan orang asing di negeri sendiri yang terpaksa “menari di atas irama gendang orang lain”.
Peningkatan Anggaran Pendidikan: Hanya Solusi Awal? Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada APBN 2009 patut diapresiasi yang diharapkan dapat mempercepat peningkatan pembangunan pendidikan. Hal ini sejalan dengan agenda dan prioritas bangsa, di mana pendidikan diyakini mampu menjadi katalisator percepatan kemajuan bangsa di masa depan yang semakin terbuka dan kompetitif.  Selanjutnya, untuk memberikan gambaran yang lebih utuh, komprehensif dan adil, ada baiknya kita menengok alokasi anggaran secara makro dengan melakukan analisa struktur dan kapasitas anggaran, ketersediaan dana, dan beban yang harus ditanggung. Besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 mencapai Rp. 1.037,1 trilyun yang merupakan tahun pertama APBN melampaui angka ribuan. Dengan besaran tersebut, maka alokasi pendidikan sebesar 20 persen adalah sebesar Rp. 207,41 trilyun. Dari total anggaran pendidikan tersebut, sebanyak Rp. 89,6 trilyun dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Departemen Agama (Depag), dan Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan non-kedinasan, dan sisanya sebesar Rp. 117,9 trilyun ditransfer ke daerah dalam wujud dana bagi hasil, dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), tambahan DAU dan dana otonomi khusus.
Sebagian besar belanja pusat ada di Depdiknas dan Depag, yaitu masing-masing sebesar Rp. 61,5 trilyun dan 23,3 trilyun. Kedua departemen ini merupakan departemen yang dapat alokasi besar, bahkan alokasi Depdiknas merupakan departemen yang mendapat alokasi terbesar pertama. Adapun dana yang telah ditransfer ke daerah sebagian besar merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelolanya. Di dalam alokasi transfer daerah tersebut gaji pegawai, yaitu untuk guru yang tersebar di seantero nusantara, sisanya diintegrasikan dalam APBD di propinsi, kabupaten dan kota. Alokasi untuk gaji dan tunjangan guru tersebut tentu saja wajib dan mengingat sehingga sangat sulit untuk dilakukan pergeseran.
Dalam bagian dana transfer ke daerah yang masih ada yang mengacu pada petunjuk teknis dari pemerintah pusat yaitu untuk dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp. 9,3 trilyun yang difokuskan untuk memperbaiki gedung sekolah dasar yang tersebar di seluruh provinsi, kabupaten dan kota kecuali DKI Jakarta.  Dari data di atas, nampak komitmen dan kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap dan terus-menerus. Namun perlu diakui upaya untuk meningkatkan anggaran pendidikan oleh pemerintah selama ini masih jauh dari yang diharapkan karena pemerintah dihadapkan pada posisi dilematis. Fakta tersebut menunjukkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius dalam membangun pendidikan. Namun demikian, dalam jangka panjang pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan publik sebagaimana yang tersurat dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi setara gaji pokok untuk guru yang telah mendapat sertifikasi yang jumlahnya mendekati 2 juta. Demikian halnya harapan publik yang tercantum dalam UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan beasiswa untuk 20 persen mahasiswa atau sebanyak 1,1 juta mahasiswa (total mahasiswa sebanyak 4,375 juta) yang tersebar di 2.766 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Setelah Anggaran Pendidikan Naik: Lalu? Peningkatan anggaran pendidikan bukanlah ‘panacea’ terhadap seluruh permasalahan pembangunan pendidikan di Indonesia. Di samping masalah pengelolaan juga terkait dengan masalah kualitas penggunaan anggaran (quality spending). Penyediaan anggaran yang sangat besar tanpa dibarengi dengan penataan sistem, mekanisme dan pertanggungjawaban yang baik dan memenuhi prinsip tata kelola yang baik (good governance) malah akan melahirkan penghamburan anggaran yang tidak perlu, bahkan menjadi ladang baru untuk “bancakan” pengelola. Oleh karena itu, selain mengupayakan kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan, hal lain yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh adalah bagaimana pemanfaatan anggaran tersebut.  Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) mampukah instansi terkait yang menangani pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan non-kedinasan, serta Pemerintah Daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota) menggunakan anggaran pendidikan sebagaimana yang diharapkan; (2) apakah instansi terkait tersebut sudah memiliki manajemen dan prosedur yang memadai untuk meminimalisir kebocoran dan korupsi, sebab dana yang besar memberi peluang korupsi yang besar pula. Jika kedua hal tersebut belum terpenuhi, maka peningkatan anggaran pendidikan tidak akan berdampak signifikan bagi kualitas pendidikan nasional.
Kedua pertanyaan tersebut didasarkan pada kenyataan masih rendahnya kemampuan pengelola pendidikan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin alokasi anggaran yang tersedia, misalnya sebagaimana tercermin adanya sisa anggaran yang tidak terserap setiap tahunnya yang mencapai di atas 10-15 persen atau sekira Rp. 4 trilyun, termasuk dana yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri yang argo bunga pinjamannya terus berjalan.
Dalam konteks ini, peringatan sejumlah kalangan bahwa upaya membenahi kelembagaan pendidikan dan mentalitas aparat birokrasi pendidikan adalah sama pentingnya dengan tuntutan menaikkan anggaran pendidikan. Oleh sebab itu, sebaiknya isu perbaikan kelembagaan dan peningkatan efisiensi manajemen anggaran pendidikan, terutama yang melibatkan aparat birokrasi, juga harus diangkat menjadi wacana publik. Dengan demikian, perdebatan di masyarakat tidak hanya berputar pada persoalan anggaran pendidikan yang rendah, tetapi meluas pada aspek-aspek lain yang juga strategis.
Barangkali sudah saatnya, pengelola sekolah sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan diberikan kesempatan yang lebih luas dan otonom untuk mengelola anggaran pendidikan. Dengan demikian, maka pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (school-based management) tidak hanya menjadi kebijakan di atas kertas tapi juga menjadi kebijakan nyata melalui penyerahan anggaran yang lebih besar dan langsung kepada pengelola satuan pendidikan yang diharapkan dapat mendukung tercapainya target peningkatan kualitas pengajaran secara leluasa, mandiri dan bertanggung jawab. Selamat hari pendidikan nasional!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar