EKSTRA

Kamis, 16 Agustus 2012

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
(Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan)

A. Pengantar
Seperti diketahui bahwa United Nation’s Development Program
(UNDP) pada tahun 2004 ini menempatkan Human Development
Index (HDI) Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Bahkan
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand
dan Philipina, posisi Indonesia berada di bawah mereka. Tiga
komponen peningkatan HDI yakni indeks kesehatan, indeks
perekonomian, dan indeks pendidikan.
Kondisi di atas terkait dengan adanya tuntutan pengembang-
an sumberdaya manusia yang terus menerus meningkat dari
waktu ke waktu. Standar mutu baik dari jenis karya, kualitas jasa,
dan produk, serta layanan mengalami dinamisasi kualitas untuk
pemenuhan kebutuhan dan kepuasan hidup manusia yang terus
meningkat pula. Ini artinya bahwa layanan pendidikan kita harus-
lah mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Hal lain yang
menjadi pertimbangan penulisan judul ini adalah belum optimal-
nya partisipasi masyarakat dalam ikutserta mengembangkan
kualitas pendidikan di tanah air ini. Tanggungjawab pengembang-
an pendidikan anak atau generasi bangsa yaitu berada pada orang
tua, masyarakat, dan negara. Partisipasi masyarakat di sini ter-
cakup di dalamnya peran orangtua dan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya di luar sekolah atau lembaga pendidikan.
Peran dominan orang tua terutama pada saat anak-anak
mereka berada dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang
dewasa. Pada masa pertumbuhan orang tua harus memenuhi
kebutuhan pokok demi menjamin perkembangan yang sehat dan
baik. Menurut Russell (1993) orang tua harus mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar anaknya antara lain udara segar,
makanan bergizi, kesempatan bermain, kebebasan tumbuh dan
berekspresi, serta lingkungan yang aman secara fisik sehingga
bebas dari luka-luka dan bencana. Pada tahap berikutnya hingga
anak dewasa, orang tua berperan mengantarkan dan memfasili-
tasinya hingga menjadi dirinya sendiri. Peran dari kelompok-
kelompok masyarakat lainnya adalah membantu proses pen-
dewasaan dan kematangan individu sebagai anggota kelompok
dalam suatu masyarakat.
Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, kita ingin men-
jadikan generasi masa depan bangsa Indonesia sebagai manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Tulisan ini secara khusus bertujuan ingin menggambarkan
bahwa tanggung jawab untuk peningkatan mutu pendidikan
bukan saja oleh negara tetapi justru sebaliknya yang terpenting
adalah oleh orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
reaktualisasi partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendi-
dikan.

B. Partisipasi Masyarakat
Kata “partisipasi masyarakat” dalam pembangunan menun-
jukkan pengertian pada keikutsertaan mereka dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pemba-
ngunan (United Nation, 1975). Dalam kebijakan nasional ke-
negaraan saat ini, melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan
pembangunan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pembangunan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari
implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya
dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff.
1980). Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti
mengambil bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam
bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa
pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta
ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998).
Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di
Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan
anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan pro-111
gram-program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyara-
kat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk
kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya
berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu
sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-
kebijakannya.
Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya
anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari
kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu
sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisi-
pasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau
kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelan-
jutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat
dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari
masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata
apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya
kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan
untuk berpartisipasi (Slamet, 1992).
Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang
bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan
kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi
kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan
dari warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun
telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerin-
tahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada
kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesem-
patan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerin-
tahan untuk warga atau kelompok dari suatu masyarakat, maka
tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.
Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan
adanya kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelom-
pok masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendi-
dikan. Sebaliknya juga pihak penyelenggara negara atau penye-
lenggara pemerintahan perlu memberikan ruang dan/atau kesem-
patan dalam hal lingkup apa, seluas mana, melalui cara bagai-
mana, seintensif mana, dan dengan mekanisme bagaimana parti-
sipasi masyarakat itu dapat dilakukan.
Ada tidaknya kemauan keluarga/warga atau kelompok
masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia terkait
dengan paradigma pembangunan yang dominan saat ini dan
sebelumnya. Paradigma pembangunan yang sentralistik yang di-
anut pemerintah sampai satu dekade yang lalu, telah menumbuh-
kan opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pemba-
ngunan (dalam bidang pendidikan) adalah terletak di tangan
pemerintah. Warga dan kelompok masyarakat yang lebih di-
tempatkan sebagai “bukan pemain utama” telah merasa ter-
pinggirkan, walaupun mengurus kebutuhan dan kepentingannya
sendiri. Menurut Sutrisno (1995) perencanaan pembangunan yang
demikian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai suatu
subsistem yang diasumsikan sebagai bagian pasif dari sistem
pembangunan. Kesan tersebut telah melemahkan kemauan ber-
partisipasi warga dan kelompok-kelompok masyarakat dalam
pengembangan pendidikan.
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai
bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU
No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya
desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara
sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi,
2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk
meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur
urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi
masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembang-
an pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu
dibuka selebar-lebarnya. Kemampuan berpartisipasi terkait
dengan kepemilikan sumber daya yang diperlukan untuk dipar-
tisipasikan, baik menyangkut kualitas sumber daya manusia
maupun sumber daya lainnya seperti dana, tenaga, dan lain-lain.
Agar kemampuan untuk berpartisipasi dimiliki oleh masya-
rakat, maka perlu peningkatan sumber daya manusia dengan cara
memperbaharui dan meluaskan tiga jenis pendidikan masyarakat
baik formal, nonformal maupun informal. Akses yang luas
terhadap tiga jenis pendidikan tersebut akan mempercepat
tingginya tingkat pendidikan dan pada gilirannya akan memam-
pukan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan (termasuk
pengembangan pendidikan).112

C. Masalah Pengembangan Pendidikan di Indonesia
Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masya-
rakat. Pendidikan tidak lain merupakan proses transmisi
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek
perilaku lainnya kepada generasi ke generasi. Dengan pengertian
seperti itu, sebenarnya upaya tersebut sudah dilakukan sepenuh-
nya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Hampir segala sesuatu
yang kita pelajari adalah sebagai hasil dari hubungan kita dengan
orang lain, baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan
dan sebagainya. Segala sesuatu yang kita ketahui ternyata adalah
hasil hubungan timbal balik yang telah sedemikian rupa dibentuk
oleh masyarakat di sekitar kita.
Bagi suatu masyarakat, hakikat pendidikan diharapkan
mampu berfungsi menunjang bagi kelangsungan dan proses
kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan
eksistensinya, maka diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keteram-
pilan dan bentuk tata perilaku lainnya kepada generasi mudanya.
Tiap masyarakat selalu berupaya meneruskan kebudayaannya
dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing
periode zamannya kepada generasi muda melalui pendidikan,
atau secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian
fungsi pendidikan tidak lain adalah sebagai proses sosialisasi
(Nasution, 1999).
Dalam pengertian sosialisasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa aktivitas pendidikan sebenarnya sudah dimulai semenjak
seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan
eksternal di luarnya, yakni keluarga. Seorang bayi yang baru lahir
tentunya hidup dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali.
Menyadari hal demikian sang ibu berupaya memberikan segala
bentuk curahan kasih sayang dan buaian cinta kasih melalui air
susunya, perawatan yang lembut serta gendongan yang begitu
mesra kepada si bayi. Begitulah proses tersebut berlangsung
selama si bayi masih tetap memerlukan pertolongan intensif dari
manusia lain. Sampai pada umur tertentu ia tumbuh dan
berkembang dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih keluarga,
perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya.
Anggota keluarga baru itu terus menerus belajar mengetahui,
mempelajari serta melakukan berbagai reaksi terhadap stimulus
dari dunia barunya. Lalu, sang bayi juga berusaha memahami
esensi nilai-nilai kemanusiaan dari keluarganya dalam bentuk
gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa serta semua tindak tanduk
yang menggambarkan bahwa jiwa raganya telah terpaut erat oleh
belaian kasih sayang manusia dewasa. Begitulah pendidikan
berjalan dalam keluarga. Proses tersebut berlangsung pula ketika
seseorang tumbuh menjadi manusia dewasa. Pendidikan sebagai
proses sosialisasi di masyarakat berjalan mulai dari lingkungan
yang terkecil sampai lingkungan yang terbesar dari individu
tersebut.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula ternyata masyarakat
dunia secara global telah ikut mempengaruhi iklim pendidikan.
Pengaruh modernisasi di berbagai sektor kehidupan telah
melahirkan karakter pendidikan yang hampir sama di seluruh
dunia, meskipun memiliki ciri khas tertentu di tiap-tiap negara.
Dalam masyarakat yang sudah maju, proses pendidikan sebagian
dilaksanakan dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah
dan pendidikan dalam lembaga-lembaga tersebut merupakan
suatu kegiatan yang lebih teratur dan terdeferensiasi. Inilah
pendidikan formal yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai
“schooling” (Tilaar, 2003).
Oleh karena tuntutan tugas keluarga dan masyarakat, lalu
tugas-tugas di atas diambil alih oleh sekolah, atau sebaliknya
keluarga dan masyarakat telah merasa memandatkan atau
menyerahkan tugas tersebut sepenuhnya kepada sekolah. Jadi
seakan-akan tugas sosialisasi agar suatu generasi dapat mencapai
prestasi tertentu, dikonotasikan menjadi tugas sekolah.
Apabila pada masa tertentu suatu generasi dengan capaian
prestasi tertentu, maka lalu dikonotasikan pula bahwa hasil
capaian tersebut adalah merupakan prestasi sekolah. Padahal,
apabila tugas pendidikan telah tercerabut dari program ling-
kungannya atau masyarakatnya, dapat dipastikan akan meng-
hasilkan suatu capaian yang tidak memuaskan hasilnya bagi
masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antara
sekolah, keluarga, dan masyarakat saling berpacu menuju
perubahan.
Akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
suatu keluarga dan anggotanya terkadang lebih maju di depan
daripada sekolah tempat anak-anaknya dikirim untuk diharapkan113
dapat mengembangkan diri. Demikian juga dengan kelompok-
kelompok masyarakat, baik itu dari jasa industri, kelompok
profesi atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya terkadang
telah lebih dahulu maju di depan daripada sekolah itu sendiri.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi)
menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan
mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya
pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi
oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-
satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber
informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan
mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila
anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan
menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas
fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran
sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai
ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat meng-
hasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupa-
kan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup
pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga
matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah
di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara
drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-
sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan
besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus
bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain
terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang
akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh
masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan
alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi
tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat ter-
gantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengem-
bangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa
kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain.
Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti
fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber
bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara
klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindivi-
dualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh
siapapun dari manapun secara individu.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan
reaktualisasi partisipasi masyarakat dalam rangka perbaikan mutu
layanan dan output pendidikan. Dikatakan sebagai reaktualisasi
karena sebenarnya dalam usaha pendidikan pada dasarnya sudah
menjadi bagian dari tugas mereka (yaitu para orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya).

D. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan
Pendidikan di Indonesia
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bergesernya paradigma
pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah
cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang
sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan
semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengan-
dung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan
sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih
hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti
yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu
meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang
dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Namun dalam kenyataannya, arti pembangunan mengalami
gelombang pasang sesuai kebutuhan dan tuntutannya. Pada saat
di mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran
pemerintah dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu
hanya ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-pro-
gram pembangunan itu. Sebaliknya, apabila kemudian peran
masyarakat kuat dan ditempatkan sebagai subjek, maka akan
bermakna sebagai upaya pemberdayaan atau penguatan masya-
rakat, baik secara institusional maupun perseorangan anggota
masyarakat (Karsidi, 2002).
Penguatan masyarakat secara institusional bisa diartikan
sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga
negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak
aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang ber-
kaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. Ter-114
masuk di dalamnya adalah jejaring, pengelompokan sosial yang
mencakup mulai dari rumah tangga (household), organisasi-
organisasi sukarela (termasuk partai politik), sampai organisasi-
organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara,
tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara
dari negara di satu pihak dengan individu dan masyarakat di
pihak lain (Hikam, 1993).
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah
sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang
sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan
dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi
masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan
itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masya-
rakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewa-
jiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan
prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus
dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda
dan urutan prioritas pembangunan untuk dirinya atau kelompok-
nya. Oleh karena itu, tidak akan dapat diterima jika satu golongan
mendiktekan keinginan dan kepentingannya dalam isi dan
prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan, apakah
itu golongan di dalam negeri seperti pejabat pemerintah atau
usahawan, dan eksternal seperti kekuatan besar misalnya lembaga
(keuangan) internasional (Karsidi, 2002).
Korten (1980; 1984), mengatakan bahwa titik pusat perhatian
masa pasca industri adalah pada pendekatan ke arah pembangun-
an yang lebih berpihak kepada rakyat. Individu bukanlah sebagai
objek, melainkan berperan sebagai pelaku, yang menentukan
tujuan, mengontrol sumber daya, dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi hidupnya sendiri.
Pembangunan yang memihak rakyat menekankan nilai
pentingnya prakarsa dan perbedaan lokal. Oleh karena itu, maka
pembangunan seperti itu mementingkan sistem swa-organisasi
yang dikembangkan di sekitar satuan-satuan organisasi berskala
manusia dan masyarakat yang berswadaya. Kesejahteraan dan
realisasi diri manusia merupakan jantung konsep pembangunan
yang memihak rakyat. Perasaan berharga diri adalah sama
pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi.
Penyadaran diri masyarakat merupakan satu di antara
argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh
Paulo Freire (1984), dan ini adalah inti dari usaha bagaimana bisa
mengangkat rakyat dari kelemahannya selama ini. Kesempitan
pandangan dan cakrawala rakyat diubah ke arah suatu ke-
insyafan, perasaan, pemikiran, dan gagasan bahwa hal-ihwal
dapat menjadi lain dan tersedia alternatif-alternatif jika dirinya
terlibat langsung menyelesaikan masalah-masalahnya.
Bentuk aktualisasi dan pernyataan penyadaran diri masya-
rakat secara kolektif dapat berupa partisipasinya dalam proses
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebutuhan
dirinya dan kelompoknya dalam komunitas yang melingkupinya.
Cara-cara kolektif berpartisipasi oleh masyarakat bisa teraktuali-
sasikan dalam bentuk musyawarah dan juga terbentuknya
institusi lokal oleh masyarakat itu sendiri.
Musyawarah adalah sebuah pendekatan kultural khas Indo-
nesia yang dapat dimasukkan dalam proses eksplorasi kebutuh-
an dan identifikasi masalah. Musyawarah juga merupakan bentuk
sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki atas
keputusan dan rencana pembangunan. Musyawarah dapat meru-
pakan cara analisis kebutuhan (needs) dan tidak sekadar keinginan
(wants) yang bersifat superfisial demi pemenuhan kebutuhan
sesaat. Oleh karena itu pemilihan orang-orang yang mewakili
sebagai peserta musyawarah untuk suatu keperluan seperti
merumuskan kebutuhan masyarakat haruslah benar-benar yang
mampu menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Masyawarah harus dipandang sebagai bentuk dari community
needs analysis.
Langkah lain dalam proses partisipasi masyarakat itu adalah
pembentukan kelompok. Melalui kelompok akan dibina solida-
ritas, kerja sama, musyawarah, rasa aman dan percaya kepada diri
sendiri (Karsidi, 2001). Salah satu cara yang efektif untuk mem-
bentuk kelompok adalah melalui pendekatan kepentingan yang
sama secara primordial. Dalam kelompok primordial itu, para
anggota kelompok akan memperoleh referensi yang sama. Dengan
bertolak dari kelompok primordial, maka para anggota akan
merasakan adanya hal-hal baru jika mereka bersedia memban-
dingkannya dengan situasi lama. Ini akan menimbulkan keasyik-
an dan motivasi tersendiri. Melalui kelompok, para anggota akan115
menyusun program, dan bekerja secara sistematis, serta bisa
merasakan adanya perkembangan dan kemajuan sebagai hasil
kegiatan mereka.
Pembentukan dan pengembangan kelompok masyarakat
dapat dikatakan sebagai basis dari strategi pembangunan dari
bawah. Dari kelompok-kelompok itu diharapkan akan timbul
dinamika dari bawah. Hal yang mendasar dalam kelompok
adalah perlunya penyadaran warga masyarakat untuk mau dan
mampu berpartisipasi sehingga dalam kelompok terjadi dinamika
sebagai institusi masyarakat.
Pada dasarnya, partisipasi masyarakat telah terjadi di sekolah
dalam praktik penyelenggaraan musyawarah maupun pemben-
tukan institusi lokal. Dua jenis kebijakan pemerintah tentang
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah-sekolah tingkat
dasar dan menengah serta Majelis Wali Amanah (MWA) di
perguruan tinggi BHMN adalah contoh dari bentuk perwujudan
mekanisme dan struktur kelembagaan untuk menyalurkan parti-
sipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan.
Masalahnya adalah apakah kedua contoh kelembagaan ter-
sebut telah mampu menjadi saluran partisipasi yang benar-benar
mewakili masyarakat yang seharusnya diwakilinya. Lebih dari itu,
apakah lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsi
penyaluran partisipasi masyarakat dari yang seharusnya disalur-
kan. Selama ini keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum
biasanya diserahkan kepada warga negara yang digolongkan
sebagai tokoh masyarakat atau elit. Namun cara seperti ini
terkadang justru menyebabkan warga biasa (yang bukan tokoh)
tidak akan mampu menjadi bagian dari forum dan pada giliran-
nya tidak tersalurkan pula aspirasinya. Komponen-komponen
masyarakat baik orang tua siswa, atau kelompok-kelompok
masyarakat lainnya di luar sekolah, seharusnya mempunyai
tanggung jawab mengembangkan pendidikan secara mikro yaitu
dalam lingkup pendidikan di sekolah dan secara makro adalah
untuk pengembangan sumber daya manusia bangsa.
Dalam hal apa saja seharusnya mereka berpartisipasi?
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung jawab
pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah
berada pada orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat yang
berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak pernah lepas
tetapi pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma
pembangunan sentralistik. Oleh karena paradigma tersebut telah
bergeser menuju kepada peluang yang lebar bagi teraktualisasi-
kannya kembali partisipasi masyarakat, maka perlu segera
dilakukan upaya pemulihan dan pengembalian tanggung jawab
masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala
mikro maupun skala makro. Inilah yang saya sebut sebagai
reaktualisasi partisipasi masyarakat, karena sebenarnya yang
bertanggung jawab dalam hal ini adalah justru masyarakat itu
sendiri. Mengacu pada lingkup partisipasi masyarakat, maka
dalam pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan
sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil
dan evaluasinya.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain
kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler
sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu
sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai
diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepen-
tingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya
nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar
tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada
lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah
sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan
berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing
wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendi-
dikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang
kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan
kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi
masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang
tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk
kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi
dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh adalah tanggungjawab dunia usaha/industri.
Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga
pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu
menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan meng-
kritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia
usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut ber-116
tanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai
dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-
kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan
cara demikian, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan
komponen-komponen lainnya di masyarakat tersebut.
Bagaimana dengan tanggungjawab negara terhadap pengem-
bangan pendidikan? Uraian di atas bukan bermaksud untuk
mengurangi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara
negara dalam bidang pendidikan. Sebagaimana diamanatkan oleh
UU Sisdiknas, 2003 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan, serta berkewajiban memberikan
layanan dan kemudahan penyelenggaraan pendidikan yang ber-
mutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah
dan pemerintah daerah juga wajib menjamin tersedianya dana
guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara dari
usia tujuh sampai usia lima belas tahun. Lebih dari itu, sebenar-
nya peluang bagi orang tua/warga dan kelompok masyarakat
masih sangatlah luas.
Untuk itu, maka dalam kondisi kualitas layanan dan output
pendidikan sedang banyak dipertanyakan mutu dan relevansinya,
maka pemerintah seharusnya memberikan peluang yang luas bagi
partisipasi masyarakat. Lebih dari itu, pemerintah perlu menyu-
sun mekanisme sehingga orang tua dan kelompok-kelompok
masyarakat dapat berpartisipasi secara optimal dalam pengem-
bangan pendidikan di Indonesia.

E. Kesimpulan
1. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama
pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak di
tangan pemerintah, menyebabkan masyarakat merasa hanya
ditempatkan sebagai “bukan pemain utama” dan berakibat
melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompok-
kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan.
Kondisi ini telah merugikan pengembangan pendidikan itu
sendiri dan semakin memberatkan pemerintah sebagai penye-
lenggara negara.
2. Perkembangan teknologi (terutama di bidang teknologi
informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga
pendidikan mulai bergeser. Di kemudian hari sekolah tidak
lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena
aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.
Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber
belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi
yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar. Peranan
orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat menjadi
sangat penting untuk mengisi kekosongan peran yang tidak
lagi mampu diambil oleh sekolah/lembaga pendidikan.
3. Bergesernya paradigma pembangunan sentralistik ke desen-
tralistik telah membuka peluang yang lebar bagi teraktualisasi-
kannya kembali partisipasi masyarakat dalam pengembangan
pendidikan.
4. Orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat harus dilibat-
kan dalam pengembangan pendidikan sejak dari proses peren-
canaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
5. Media dan forum yang dapat dimanfaatkan untuk penyaluran
partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan
antara lain adalah media musyawarah dan pembentukan
institusi masyarakat yang mampu menampung aspirasi
masyarakat, terutama di wilayah atau komunitas tempat
sekolah/lembaga pendidikan berada.
6. Diperlukan adanya peraturan perundangan yang mengatur
mekanisme partisipasi masyarakat terhadap pengembangan
pendidikan baik dalam skala nasional, daerah, maupun tingkat
penyelenggara pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar