TELAAH
KRITIS
PERMASALAHAN PELAYANAN PENDIDIKAN
DI BIDANG ANGGARAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kebijakan Pendidikan
(MPB 112)
Yang diampu oleh :
Dr. Sudharto, M.
Pd
Dr. Maryadi,
M.Pd
Disusun
Oleh :
NAMA : MUDHOFAR
NIM : 11510017
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PPS
IKIP PGRI SEMARANG
2012
TELAAH KRITIS
PERMASALAHAN PELAYANAN PENDIDIKAN
DI BIDANG ANGGARAN
1.
Latar Belakang
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan
dasar hokum penyelenggaraan dan reformasi system pendidikan nasional.
Implementasi dari Undang-undang tersebut adalah dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,sebagai acuan
dasar pelaksanaan system pendidikan di Indonesia.Acuan dasar tersebut di atas
merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola,
penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam
memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar nasional
pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya
transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional.Pendidikan akan berhasil jika ditopang oleh anggaran.Dengan anggaran
yang di anggarkan oleh pemerintah maka akan membuat pendidikan lebih maju dan
ini juga perlu dukungan masyarakat serta orang tua untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
2.
Rumusan Masalah
Pasal 31
ayat 2 UUD 1945 berbunyi setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan.Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayai.Negara juga memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupaun APBD.Dengan melihat kenyataan yang ada permasalahan
pembangunan pendidikan bervariasi dan kompleks dari mulai kebijakan, anggaran,
kurikulum, pembelajaran,kualitas guru dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendidikan.
Pada
telaah kritis ini saya tekankan hanya pada bidang anggaran pendidikan.Mengapa
anggaran pendidikan diprioritaskan?
3.
Akibat dari masalah
Penyebab Anggaran Pendidikan di
Prioritaskan
Dari
berbagai masalah yang mengemuka, permasalahan anggaran pendidikan merupakan
salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan. Perbincangan tersebut
akhirnya bermuara pada kesepakatan nasional untuk memberikan perhatian yang
lebih besar untuk pendidikan yang ditunjukkan dalam Amandemen Ketiga UUD 1945
Pasal 31 ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
negara membiayainya”.
Hasil
amandemen tersebut semakin diperluas seiring dengan ditetapkannya UU 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang antara lain, di dalam pasal 49
(1) yang menyatakan bahwa: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, ayat (1) tersebut dinyatakan tidak
berlaku melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 24/PUU-V/2007 yang
menyatakan dikabulkannya tuntutan Pengujian UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
(Pasal 49 ayat (1). Dengan demikian, kembali ke UUD 1945 Pasal 31 ayat (4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
4.
Pemecahan Masalah Anggaran
Pendidikan
Rumusan
UUD 1945 tersebut masih memasukan pendidikan kedinasan sehingga membutuhkan
pengaturan operasional yang menjamin alokasi hanya untuk pendidikan publik
bukan untuk pendidikan aparatur. Pada tanggal 20 Februari 2008, MK mengeluarkan
putusan yang menyatakan “Dana Pendidikan selain biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
APBD.” Keputusan tersebut menjadi rujukan pelaksanaan anggaran pendidikan
sebesar 20 persen atau sebesar Rp. 207,41 trilyun yang baru terlaksana untuk
APBN 2009. Keinginan yang kuat dari publik untuk meningkatkan anggaran pendidikan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari belum meratanya akses terhadap layanan
pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan. Upaya perluasan akses terhadap
pendidikan telah menunjukkan hasil yang menggembirakan yang ditunjukkan dengan
angka partisipasi murni (APM) SD-MI yang telah mencapai 94,90 persen dan angka
partisipasi pendidikan kasar SMP-MTs dan SLTA-MA, serta PT masing telah
mencapai 92,52 persen dan 60,51 persen, serta 17,25 persen. (Lampiran Pidato
Presiden 15 Agustus 2008). Namun demikian pencapaian agregat tersebut masih
menyisakan adanya kesenjangan antardaerah, antara kaya-miskin sehingga masih
cukup banyak kabupaten/kota yang APK jenjang SMP/MTs/sederajat kurang dari 75
persen dan rasio kaya-miskin masih sebesar 0,76. (Susenas 2006). Di samping
itu, masih ada anak yang belum terjangkau karena tinggal di wilayah terpencil,
tertinggal, dan kepulauan, serta anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya.
Terkait
dengan kualitas, pembangunan pendidikan belum mampu melakukan percepatan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Data yang dilansir Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007, menempatkan Indonesia
masuk ke ranking 37 untuk nilai matematika siswa kelas 8 atau kelas 2 SMP
dengan nilai sebesar 397 (dengan skala rata-rata 500). Jauh tertinggak
dibandingkan rerata nilai di negara-negara tetangga, semisal Malaysia yang
sudah mencapai 474, dan Thailand 441, serta Singapura 593. Demikian halnya
untuk mata pelajaran sains, Indonesia berada di posisi ke-35 dengan nilai 427,
adapun rerata Malaysia dan Thailand sudah mencapai 471, serta Singapura
mencapai 567.
Dengan
mengacu pencapaian yang ditunjukkan di atas, diperlukan usaha yang lebih kuat
dan sungguh untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan agar bangsa ini tidak
semakin tertinggal sehingga hanya mampu menjadi “bangsa kuli” yang menjadi tamu
dan orang asing di negeri sendiri yang terpaksa “menari di atas irama gendang
orang lain”.
Peningkatan
Anggaran Pendidikan: Hanya Solusi Awal? Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar
20 persen pada APBN 2009 patut diapresiasi yang diharapkan dapat mempercepat
peningkatan pembangunan pendidikan. Hal ini sejalan dengan agenda dan prioritas
bangsa, di mana pendidikan diyakini mampu menjadi katalisator percepatan
kemajuan bangsa di masa depan yang semakin terbuka dan kompetitif. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran yang
lebih utuh, komprehensif dan adil, ada baiknya kita menengok alokasi anggaran
secara makro dengan melakukan analisa struktur dan kapasitas anggaran,
ketersediaan dana, dan beban yang harus ditanggung. Besaran Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2009 mencapai Rp. 1.037,1 trilyun yang merupakan
tahun pertama APBN melampaui angka ribuan. Dengan besaran tersebut, maka
alokasi pendidikan sebesar 20 persen adalah sebesar Rp. 207,41 trilyun. Dari
total anggaran pendidikan tersebut, sebanyak Rp. 89,6 trilyun dialokasikan
melalui belanja pemerintah pusat di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas),
Departemen Agama (Depag), dan Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan non-kedinasan, dan sisanya sebesar Rp. 117,9 trilyun ditransfer ke
daerah dalam wujud dana bagi hasil, dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi
umum (DAU), tambahan DAU dan dana otonomi khusus.
Sebagian
besar belanja pusat ada di Depdiknas dan Depag, yaitu masing-masing sebesar Rp.
61,5 trilyun dan 23,3 trilyun. Kedua departemen ini merupakan departemen yang
dapat alokasi besar, bahkan alokasi Depdiknas merupakan departemen yang
mendapat alokasi terbesar pertama. Adapun dana yang telah ditransfer ke daerah
sebagian besar merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelolanya. Di
dalam alokasi transfer daerah tersebut gaji pegawai, yaitu untuk guru yang
tersebar di seantero nusantara, sisanya diintegrasikan dalam APBD di propinsi,
kabupaten dan kota. Alokasi untuk gaji dan tunjangan guru tersebut tentu saja
wajib dan mengingat sehingga sangat sulit untuk dilakukan pergeseran.
Dalam
bagian dana transfer ke daerah yang masih ada yang mengacu pada petunjuk teknis
dari pemerintah pusat yaitu untuk dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp. 9,3
trilyun yang difokuskan untuk memperbaiki gedung sekolah dasar yang tersebar di
seluruh provinsi, kabupaten dan kota kecuali DKI Jakarta. Dari data di atas, nampak komitmen dan
kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap
dan terus-menerus. Namun perlu diakui upaya untuk meningkatkan anggaran
pendidikan oleh pemerintah selama ini masih jauh dari yang diharapkan karena
pemerintah dihadapkan pada posisi dilematis. Fakta tersebut menunjukkan
kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk memberikan perhatian yang serius
dalam membangun pendidikan. Namun demikian, dalam jangka panjang pemenuhan
anggaran pendidikan 20 persen belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan publik
sebagaimana yang tersurat dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang
mewajibkan pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi setara gaji pokok
untuk guru yang telah mendapat sertifikasi yang jumlahnya mendekati 2 juta.
Demikian halnya harapan publik yang tercantum dalam UU No. 9/2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan beasiswa
untuk 20 persen mahasiswa atau sebanyak 1,1 juta mahasiswa (total mahasiswa
sebanyak 4,375 juta) yang tersebar di 2.766 perguruan tinggi, baik negeri
maupun swasta.
Setelah
Anggaran Pendidikan Naik: Lalu? Peningkatan anggaran pendidikan bukanlah
‘panacea’ terhadap seluruh permasalahan pembangunan pendidikan di Indonesia. Di
samping masalah pengelolaan juga terkait dengan masalah kualitas penggunaan
anggaran (quality spending). Penyediaan anggaran yang sangat besar tanpa
dibarengi dengan penataan sistem, mekanisme dan pertanggungjawaban yang baik
dan memenuhi prinsip tata kelola yang baik (good governance) malah akan
melahirkan penghamburan anggaran yang tidak perlu, bahkan menjadi ladang baru
untuk “bancakan” pengelola. Oleh karena itu, selain mengupayakan kenaikan
anggaran pendidikan secara signifikan, hal lain yang harus diperhatikan secara
sungguh-sungguh adalah bagaimana pemanfaatan anggaran tersebut. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
(1) mampukah instansi terkait yang menangani pendidikan (Departemen Pendidikan
Nasional, Departemen Agama, dan Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan non-kedinasan, serta Pemerintah Daerah, baik propinsi maupun
kabupaten/kota) menggunakan anggaran pendidikan sebagaimana yang diharapkan;
(2) apakah instansi terkait tersebut sudah memiliki manajemen dan prosedur yang
memadai untuk meminimalisir kebocoran dan korupsi, sebab dana yang besar memberi
peluang korupsi yang besar pula. Jika kedua hal tersebut belum terpenuhi, maka
peningkatan anggaran pendidikan tidak akan berdampak signifikan bagi kualitas
pendidikan nasional.
Kedua
pertanyaan tersebut didasarkan pada kenyataan masih rendahnya kemampuan
pengelola pendidikan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin alokasi anggaran
yang tersedia, misalnya sebagaimana tercermin adanya sisa anggaran yang tidak
terserap setiap tahunnya yang mencapai di atas 10-15 persen atau sekira Rp. 4
trilyun, termasuk dana yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri yang argo
bunga pinjamannya terus berjalan.
Dalam
konteks ini, peringatan sejumlah kalangan bahwa upaya membenahi kelembagaan
pendidikan dan mentalitas aparat birokrasi pendidikan adalah sama pentingnya dengan
tuntutan menaikkan anggaran pendidikan. Oleh sebab itu, sebaiknya isu perbaikan
kelembagaan dan peningkatan efisiensi manajemen anggaran pendidikan, terutama
yang melibatkan aparat birokrasi, juga harus diangkat menjadi wacana publik.
Dengan demikian, perdebatan di masyarakat tidak hanya berputar pada persoalan
anggaran pendidikan yang rendah, tetapi meluas pada aspek-aspek lain yang juga
strategis.
Barangkali
sudah saatnya, pengelola sekolah sebagai ujung tombak peningkatan kualitas
pendidikan diberikan kesempatan yang lebih luas dan otonom untuk mengelola
anggaran pendidikan. Dengan demikian, maka pelaksanaan manajemen berbasis
sekolah (school-based management) tidak hanya menjadi kebijakan di atas kertas
tapi juga menjadi kebijakan nyata melalui penyerahan anggaran yang lebih besar
dan langsung kepada pengelola satuan pendidikan yang diharapkan dapat mendukung
tercapainya target peningkatan kualitas pengajaran secara leluasa, mandiri dan
bertanggung jawab. Selamat hari pendidikan nasional!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar