BUDAYA
ORGANISASI DI SEKOLAH
Oleh :
Mudhofar, S. Pd.
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang
budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu
sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam
bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep
budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh
C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala
manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat,
ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah
sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi
kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang
sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya
tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai
sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing
atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi.
Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup.
Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan
membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam
menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi
: (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;
dan (4) shared feelings.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di
atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi
atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun
pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi
formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi
dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari
seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya
tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan
perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya
organisasi dapat dibagi ke dalam dua
dimensi yaitu :
(1) Dimensi external
environments; yang didalamnya
terdapat lima hal esensial yaitu:
(a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement;
dan (e) correction.
(2) Dimensi internal
integration yang di dalamnya terdapat
enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion;
(c) distributing power and status;
(d) developing norms of intimacy, friendship,
and love; (e) reward and punishment;
dam (f) explaining and explainable :
ideology and religion.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari
budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved
behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para
anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan
anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau
ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di
dalamnya tentang pedoman sejauh mana
suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya
nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang
tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy;
yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi
dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan
perasaan keseluruhan (an
overall “feeling”) yang
tergambarkan dan disampaikan melalui
kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di
atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya
organisasi, terutama dilihat dari segi
jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga
pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat
dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya
organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan
sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada
asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia,
fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan
pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi,
strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi
kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett
(1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang
berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada
tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama
oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan
meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang
penting dalam kehidupan, dan dapat
sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal
orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan
inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar
berubah, sebagian karena anggota
kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama.
Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga
karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku
sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah
bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap
orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif.
Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit
pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk
lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Tak Tampak Sulit
berubah
Nilai yang dianut bersama
: Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang
dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan
lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh
: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan
pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok :
cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu
kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara
mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada
para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan
menghukum yang tidak menganut nilai-nilai budaya.
Contoh
: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering
melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak Mudah berubah
Pada bagian lain, John
P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan
pula tentang tiga konsep budaya
organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara
strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang
kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama
seperangkat nilai dan metode menjalankan
usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat.
Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh
bosnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung
tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi
penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan
cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan
perilaku yang dianut bersama membuat
orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang
berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan
kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan
inovasi.
Budaya yang strategis
cocok secara eksplisit menyatakan bahwa
arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan
kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”.
Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang
dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau
strategi usahanya.
Budaya yang
adaptif berangkat dari logika bahwa
hanya budaya yang dapat membantu organisasi
mengantisipasi dan beradaptasi
dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang
superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang
bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan
individu. Para
anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi
semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para
anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah
secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui.
Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia
hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para
anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter
mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang
dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi
dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan
mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan
budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang
mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur,
kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
B. Proses Pembentukan Budaya
Organisasi
Selanjutnya,
kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi.
Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu
budaya dalam organisasi bisa bermula
dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau
puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk
budaya organisasi, diantaranya : (1)
pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia
asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake
holder); dan (6) masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan pula
bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak
dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan
biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam
organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat dilihat
dalam bagan 2 berikut ini
Bagan 2. Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo,
h.9)
Setelah
mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon
anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan
perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru
terpilih bisa diajarkan gaya
kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa
diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang
nilai-nilai kelompok dan apa yang
dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa
secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan
budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai
pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui
ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang
yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat
terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat
mendorong anggota muda untuk mengambil alih
nilai dan gaya mereka. Barangkali
yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi
imbalan (reward) sedangkan yang
tidak, akan mendapat sanksi (punishment).
Imbalan (reward) bisa berupa materi
atau pun promosi jabatan dalam
organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment)
tidak hanya diberikan berdasar pada
aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial.
Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated
di lingkungan organisasinya.
Dalam
suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau
“tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka
manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan
perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan
asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan
budaya mungkin diperlukan.
Karena
budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses
belajar yang telah berakar, maka
mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan.
Walaupun demikian, Howard Schwartz dan
Stanley Davis dalam bukunya Matching
Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri
Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya
organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3)
upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4)
ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran
Alan Kennedy dalam bukunya Corporate
Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan
budaya secara besar-besaran : (1) Jika
organisasi memiliki nilai-nilai yang
kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan
kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang
saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi
mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil
tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada
satu pun alasan yang cocok dengan di
atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha
mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10
persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun
demikian mungkin hanya akan didapatkan
setengah perbaikan dari yang diinginkan.
Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi.
dalam bentuk waktu, usaha dan uang.
C. Penerapan Budaya Organisasi
di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi
sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan
tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum,
penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep
budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak
pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para
pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E.
Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen
Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers,
students, and principals."
Nilai-nilai yang
dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are
moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin
dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran
Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya
terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1
berikut ini dikemukakan keenam jenis
nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku
Dasarnya menurut Spranger
No
|
Nilai
|
Perilaku
Dasar
|
1
|
Ilmu Pengetahuan
|
Berfikir
|
2
|
Ekonomi
|
Bekerja
|
3
|
Kesenian
|
Menikmati keindahan
|
4
|
Keagamaan
|
Memuja
|
5
|
Kemasyarakatan
|
Berbakti/berkorban
|
6
|
Politik/kenegaraan
|
Berkuasa/memerintah
|
Sumber : Modifikasi dari Sumadi
Suryabrata. 1990. Psikologi
Kepribadian.
Jakarta : Rajawali. h.105
Dengan merujuk pada
pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein,
di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di
sekolah, yaitu tentang (1) obeserved
behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved
behavioral regularities; budaya organisasi di
sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota
sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk
acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol
tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya
norma-norma yang berisi tentang standar
perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku
ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada
kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa
terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak.
Standar perilaku siswa tidak hanya
berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh
aspek kepribadian.
Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru,
tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru,
yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan
pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan
Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu
:
(a) Kompetensi
pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang
meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f)
evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi
kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil;
(c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia;
(g) menjadi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi
sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan;
(b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c)
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik;
dan (d) bergaul secara santun
dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi
profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni
yang menaungi/koheren dengan materi ajar;
(b) materi ajar yang ada dalam
kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d)
penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi
secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional.
(3) Dominant
values; jika dihubungkan dengan
tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini
yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di
sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di
sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah
hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu
sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002)
mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah
laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam
konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu
pendidikan meliputi aspek input, proses
dan output pendidikan. Pada aspek input,
mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber
daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan
input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan
melalui pengkoordinasian dan penyerasian
serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat
dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik
maupun non akademik.
Berbicara
tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita
kepada suatu konsep manajemen dengan apa
yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang
merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk
mengoptimalkan daya saing organisasi
melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia,
proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan
dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh
Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa
aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan;
(2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka
panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan;
(7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan
(10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.
Dengan
mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip
utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu:
(1) kepuasan pelanggan, (2)
respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4)
perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya,
dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya
mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk
perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas
tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment);
(d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama;
(e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal
jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa
memiliki sekolah.
(4) Philosophy;
budaya
organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi
dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia,
dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia
bisnis yang memang telah terbukti
memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada
upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya
memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada
pelanggan.
(5) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan
aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki
ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah
setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam
berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah
(school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan
ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
(6) Organization
climate; budaya organisasi
ditandai dengan adanya iklim organisasi.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi
antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.
Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga
menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat
menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap
anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun
sosialnya.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS
adalah adanya lingkungan yang aman dan
tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan
nyaman (enjoyable learning).
D. Arti Penting
Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun
budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan
pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan
oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan
dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya
organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi
belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr
tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu :
tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi,
komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey
terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam
belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat.
Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D.
McInerney terhadap skor tes siswa
sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh
budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki
korelasi dengan sikap guru dalam bekerja.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di
sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di
sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan
sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas
guna memahami masalah-masalah yang sulit
dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman
pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi
dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna
meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.
2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas,
Robbins, Stephen P dan Judge Timothy A. 2009. Perilaku Organisasi .Edisi 12. Jakarta:
Salemba Empat .
Akhmadsudrajat.files.wordpress.com/budaya-organisasi-di-sekolah.11/12/2011/20.20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar